Asap rokoknya masih mengepul di depan wajahnya, menutupi pandangan
matanya yang menyaksikan manusia-manusia di bawah sana. Di atap gedung
pencakar langit itu, dia menyesap rokoknya yang sudah keempat. Dengan
bergaya layaknya malaikat yang suci, dia memadamkan bara di puntung
rokoknya. Lalu, menyesali tindakannya yang tiada mampu berhenti mengulum
batang cerutu.
“Aku sudah lelah merokok!" batinnya merasakan bahwa puntung rokoknya itu adalah memorinya yang terakhir.
Tar dan nikotin terlanjur tersimpan erat di tubuhnya. Mereka mengalir
di setiap isapan melalui mulutnya yang liar. Melewati jalur kerongkongan
yang sunyi. Hingga sebagiannya menuju paru-paru. Menerabas bronkeolus.
Dan terakhir, merasuki alveolus-alveolusnya yang mungil.
Malaikat! Kenapa kamu harus menjadi malaikat bagi manusia?
Waktu itu, saat dia masih menjadi seorang manusia, dia berniat dengan
impian besar. Memiliki hati yang berwarna-warni. Sebuah idealisme tanpa
batas terus mengakar dalam pola pikirnya yang rumit. Dia membiarkan
mulut-mulut liar mencibir segala yang ia percayai dan perjuangkan.
Idealismenya sedang diuji.
Dia tidak buta, karena semua perilakunya dilandasi dengan idealismenya
yang kokoh. Dia juga tidak rapuh, karena idealismenya diwujudkan dalam
perbuatan-perbuatannya. Manusia itu disebut-sebut sebagai malaikat maut
di kalangan tertentu. Namun, di sisi lain, dialah malaikat suci bagi
manusia-manusia lain yang menginginkan keadilan.
Lelaki yang beralis tebal itu lantas mendirikan sebuah gedung pencakar
langit. Dengan kepercayaan dan keyakinannya, dia memperkenalkan sebuah
terobosan. Gedung itu akan menjadi awal kematian bagi para koruptor,
batinnya. Manusia-manusia sedingin es seseram hantu sudah dipersiapkan
di sana untuk menguji manusia-manusia tertentu yang berbuat korupsi.
“Kenapa Bapak mendirikan gedung ini?” tanya salah seorang anak buahnya yang masih muda.
“Kenapa kamu bertanya demikian?” jawab lelaki itu.
“Saya hanya penasaran saja, Pak!” jawab pemuda itu gugup.
“Apa kamu tidak sadar tentang negeri ini? Negeri ini sedang kacau balau. Sedang krisis kepercayaan.”
“Krisis kepercayaan?”
“Ya! Suatu krisis yang mengakibatkan orang yang dipimpin tidak
sepenuhnya percaya kepada pemimpin dan sang pemimpin tidak sepenuhnya
percaya kepada rakyat yang telah mendukungnya. Rakyat cenderung
punya
pandangan sempit dengan merasa bahwa jika rakyat melakukan kesalahan
yang menyalahi aturan atau rakyat yang masuk di jajaran birokrasi
melakukan pelanggaran, pasti mereka akan beranggapan adanya
ketidakberesan pada sang pemimpin. Dan pemimpin telah mengetahui hal
itu. Sehingga, antara pemimpin dengan rakyat, terjadi keprcayaan yang
setengah-setengah.”
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya yang tertutup oleh potongan rambut
yang rapi, belahan rambut di samping kiri. Dari matanya yang tertutup
kacamata tebal, terlihat jelas bahwa dia sesungguhnya tidak begitu
mengerti dari apa yang diucapkan lelaki tua di sampingnya yang telah
menjelma sebagai malaikat.
Melihat ketidakwajaran yang terlukis pada wajah pemuda di sampingnya,
yang sama-sama memakai setelan hitam dengan kemeja putih yang tengkuknya
tersembul keluar dari kerah setelan hitam itu, lelaki tua yang telah
berubah menjadi malaikat itu meneruskan penjelasannya. Malaikat itu
menyadari bahwa pemuda itu mungkin belum mengerti dengan apa yang ia
maksud.
Malaikat dengan kumis dan cambang putihnya yang menyatu sehingga
membentuk bulatan dengan diameter dari bawah hidung hingga dahinya yang
tertutup rambut uban itu menarik sedikit senyumannya,
“Apa kamu masih
belum mengerti juga?” tanyanya kepada pemuda itu.
“Eee...Iya, Pak!” jawab pemuda itu kembali gugup.
“Intinya krisis kepercayaan mengakibatkan bangsa ini tidak pernah bisa maju!”
“Lalu, apa penyebab terjadinya krisis kepercayaan itu?”
“Hmmm....Pertanyaan yang bagus. Krisi kepercayaan terjadi karena koruptor.”
“Koruptor?”
“Iya, betul! Koruptor! Mereka yang berada di jajaran birokrasi sering
menyalahgunakan wewenang dan kekuasan dengan korupsi, memperkaya diri
sendiri. Lalu terungkaplah di pemberitaan. Namun, semua kasus-kasus itu
tak pernah tuntas. Tak pernah selesai dan terungkap kesemuanya. Seperti
kotoran yang sengaja ditimbun kucing di dalam tanah. Sehingga rakyat
marah. Hati mereka seperti diperkosa. Rakyat lalu muak dan hilang rasa
percaya kepada pemimpin yang dianggapnya tidak becus atau mungkin “tidak
benar”. Dan dengan gedung pencakar langit ini sebagai simbol keadilan
dan ketakutan para koruptor, diharapkan para koruptor akan jera. Karena
mulai dari gedung pencakar langit ini akan lebih banyak koruptor yang
akan tertangkap dan diadili.”
“Maaf, Pak! Apa bukankah dengan begitu rakyat akan lebih membenci pada pemimpin karena banyak koruptor yang tertangkap?”
“Memang banyak orang yang salah menafsirkan. Ketika pada suatu masa,
tidak banyak kasus korupsi yang muncul di permukaan dan di masa yang
lain, kasus korupsi makin banyak yang terungkap, seharusnya itu menjadi
pertanda baik kemajuan gerakan penumpasan korupsi di negeri ini. Karena
bagaimana pun juga, sebuah kebenaran yang menyakitkan akan lebih baik
diungkap dan dituntaskan daripada kebenaran itu ditutupi dengan
mengatasnamakan demi keamanan dari revolusi rakyat.”
Pemuda itu lantas mengangguk-angguk. Sepenuh hatinya telah menerima
ceramah dari malaikat tua yang sayapnya kian rapuh itu. Keperkasaannya
sudah tak nampak lagi. Idealisme telah membesarkannya, merubahnya jadi
malaikat di masanya dengan gedung pencakar langitnya.
Gedung pencakar langit dengan 100 lantai itu kini juga ikut merasakan
kerapuhan. Seiring dengan usia malaikat itu, gedung itu yang kini
dianggap sebagai masa suram korupsi berawal, mulai kehilangan taringnya.
Ya, dari gedung ini semuanya berawal. Teror dan ketakutan para koruptor
yang pada akhirnya dilanjutkan di meja hijau hingga dibui. Gedung yang
diatapnya ada malaikat tua yang sedang berdiri menatap langit didampingi
seorang pemuda itu, telah tinggal sejarah.
Namun, idealisme malaikat itu masih ada. Belum lapuk. Belum ditelan
oleh usia. Meski sempat menghilang dan terombang-ambing dengan
pertentangan di dunia birokrasi.
Saat itu, ketika dia menjadi seorang malaikat dengan integritasnya, dia
mendirikan gedung pencakar langit itu. Musuh-musuh pun bertebaran dari
koloni kecil hingga manusia-manusia di dalam gedung parlemen.
Pertentangan hatinya pun muncul. Lelaki itu ingin menjadi manusia biasa,
hidup normal, dan diterima oleh khalayak. Akhirnya, malaikat itu
kehilangan sayapnya, bertendensi ikut arus, dan menjadi manusia biasa
yang harus menghadapi kenyataan di dunianya.
Sekian lama dia hidup layaknya manusia biasa membuatnya terlupa akan
sayap-sayap idealismenya. Kemudian, semua bermula dari gedung pencakar
langit yang ia dirikan. Ia akhirnya nmengalami ketakutan yang dirasakan
oleh manusia biasa, teror-teror yang ia ciptakan sendiri untuk
manusia-manusia normal. Dengan kekuatan gedung pencakar langit yang
dibangunnya itu, ia pun ditetapkan sebagai bagian dari musuh-musuhnya
terdahulu. Ya, kini ia telah menjadi tersangka.
Suap, kolusi, dan terlebih lagi korupsi telah menggiringnya menjadi
kaum yang dimarjinalkan, koruptor. Rakyat pun marah. Mereka kembali
dipecundangi. Setelah sekian lama percaya kepadanya dan pemimpinnya yang
menggaung-gaungkan sikap anti korupsi, rakyat berubah menjadi bara api
yang menjalar di setiap jalan dan gedung-gedung pemerintahan.
Mulut-mulut pedas mereka berkoar-koar membakar telinga para pejabat
pemerintahan.
Idealismenya kini telah kembali lagi setelah menyublim cukup lama
tatkala dia masih menjabat sebagai pejabat tinggi sekaligus pendiri
gedung pencakar langit itu – dimana dia juga menjadi musuh dari gedung
pencakar langit itu sendiri. Ya, idealismenya telah kembali di atap
gedung pencakar langit yang pernah dibangunnya yang juga telah
menetapkannya sebagai koruptor.
Esok dia akan menjalani sidang terakhirnya yang akan menentukan masa
hukumannya. Sebelum kepergiannya, dia masih ingin berlama-lama di atap
gedung pencakar langit itu sambil memandangi langit dan pemandangan
perkotaan dengan wajah layunya. Kini, sudah tiada lagi pertentangan hati
yang mengganggunya. Dia sudah tak mau meringkuk di penjara meskipun
akan sangat singkat karena hukum juga telah ia pecundangi.
Pengacara-pengacaranya yang menawarkan pembebasan hukuman pun telah
diusirnya. Lelaki yang dulu pernah menjadi malaikat itu sudah tak mau
lagi hidup dalam kehinaan.
Perlahan-lahan, tangan lelaki tua itu merogoh saku jas hitamnya.
Tangannya yang besar dan berkeriput akhirnya mendapatkan pistol dengan
sebutir peluru. Pemuda di sampingnya sontak terkejut.
“Apa yang akan Bapak lakukan?”
“Sudah cukup! Aku sudah tidak mau lagi menjadi beban negara. Buat apa
negara membebani anggaran tiap tahun untuk menghidupi orang sepertiku di
penjara nantinya. Aku sudah mempecundangi rakyat dan merampok negara
ini. Aku sudah tidak sanggup lagi menanggung malu”,
malaikat tua itu
berjalan mundur pelan-pelan menjauhi pemuda itu sambil menempelkan mulut
pistolnya di pelipis kirinya.
“Bapak! Insyaf, Pak! Jangan lakukan itu!” pemuda itu pun berusaha mendekat.
“Jangan mendekat! Atau aku akan menembak!” sentak lelaki tua itu.
“Pak, mohon hentikan! Bapak tidak perlu senekat itu!” pemuda itu pun menghentikan langkah kakinya.
“Biarkanlah kematianku ini sebagai simbol kegagalanku dalam menumpas
korupsi. Semoga kematianku ini bisa memotivasi para koruptor yang hidup
nyaman di penjara dalam waktu singkat itu. Semoga rasa malu berbuat
korupsi tumbuh di hati mereka dan juga kalian para generasi muda yang
akan memimpin negeri ini. Dengan begitu, tidak perlu lagi ada orang
berbuat korupsi di negara ini tanpa rasa malu.”
“Tapi ini sama saja menyesatkan, Pak!”
“Sesat? Hah! Kalau mereka tidak mau mati sepertiku maka sebaiknya
jangan korupsi!” malaikat tua itu lantas tersenyum mengembang.
Kemudian, malaikat yang sudah tak bersayap itu terjun dari gedung
pencakar langit, membiarkan sebutir pelurunya tak mengusik ketenangan.