Jumat, 22 Juli 2016

Malaikat pencakar langit

Asap rokoknya masih mengepul di depan wajahnya, menutupi pandangan matanya yang menyaksikan manusia-manusia di bawah sana. Di atap gedung pencakar langit itu, dia menyesap rokoknya yang sudah keempat. Dengan bergaya layaknya malaikat yang suci, dia memadamkan bara di puntung rokoknya. Lalu, menyesali tindakannya yang tiada mampu berhenti mengulum batang cerutu.

“Aku sudah lelah merokok!" batinnya merasakan bahwa puntung rokoknya itu adalah memorinya yang terakhir.

Tar dan nikotin terlanjur tersimpan erat di tubuhnya. Mereka mengalir di setiap isapan melalui mulutnya yang liar. Melewati jalur kerongkongan yang sunyi. Hingga sebagiannya menuju paru-paru. Menerabas bronkeolus. Dan terakhir, merasuki alveolus-alveolusnya yang mungil.
Malaikat! Kenapa kamu harus menjadi malaikat bagi manusia?
Waktu itu, saat dia masih menjadi seorang manusia, dia berniat dengan impian besar. Memiliki hati yang berwarna-warni. Sebuah idealisme tanpa batas terus mengakar dalam pola pikirnya yang rumit. Dia membiarkan mulut-mulut liar mencibir segala yang ia percayai dan perjuangkan. Idealismenya sedang diuji.
Dia tidak buta, karena semua perilakunya dilandasi dengan idealismenya yang kokoh. Dia juga tidak rapuh, karena idealismenya diwujudkan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia itu disebut-sebut sebagai malaikat maut di kalangan tertentu. Namun, di sisi lain, dialah malaikat suci bagi manusia-manusia lain yang menginginkan keadilan.
Lelaki yang beralis tebal itu lantas mendirikan sebuah gedung pencakar langit. Dengan kepercayaan dan keyakinannya, dia memperkenalkan sebuah terobosan. Gedung itu akan menjadi awal kematian bagi para koruptor, batinnya. Manusia-manusia sedingin es seseram hantu sudah dipersiapkan di sana untuk menguji manusia-manusia tertentu yang berbuat korupsi.

“Kenapa Bapak mendirikan gedung ini?” tanya salah seorang anak buahnya yang masih muda.
“Kenapa kamu bertanya demikian?” jawab lelaki itu.
“Saya hanya penasaran saja, Pak!” jawab pemuda itu gugup.
“Apa kamu tidak sadar tentang negeri ini? Negeri ini sedang kacau balau. Sedang krisis kepercayaan.”
“Krisis kepercayaan?”
“Ya! Suatu krisis yang mengakibatkan orang  yang dipimpin tidak sepenuhnya percaya kepada pemimpin dan sang pemimpin tidak sepenuhnya percaya kepada rakyat yang telah mendukungnya. Rakyat cenderung
punya pandangan sempit dengan merasa bahwa jika rakyat melakukan kesalahan yang menyalahi aturan atau rakyat yang masuk di jajaran birokrasi melakukan pelanggaran, pasti mereka akan beranggapan adanya ketidakberesan pada sang pemimpin. Dan pemimpin telah mengetahui hal itu. Sehingga, antara pemimpin dengan rakyat, terjadi keprcayaan yang setengah-setengah.”

Pemuda itu garuk-garuk kepalanya yang tertutup oleh potongan rambut yang rapi, belahan rambut di samping kiri. Dari matanya yang tertutup kacamata tebal, terlihat jelas bahwa dia sesungguhnya tidak begitu mengerti dari apa yang diucapkan lelaki tua di sampingnya yang telah menjelma sebagai malaikat.
Melihat ketidakwajaran yang terlukis pada wajah pemuda di sampingnya, yang sama-sama memakai setelan hitam dengan kemeja putih yang tengkuknya tersembul keluar dari kerah setelan hitam itu, lelaki tua yang telah berubah menjadi malaikat itu meneruskan penjelasannya. Malaikat itu menyadari bahwa pemuda itu mungkin belum mengerti dengan apa yang ia maksud.
Malaikat dengan kumis dan cambang putihnya yang menyatu sehingga membentuk bulatan  dengan diameter dari bawah hidung hingga dahinya yang tertutup rambut uban itu menarik sedikit senyumannya,

 “Apa kamu masih belum mengerti juga?” tanyanya kepada pemuda itu.
“Eee...Iya, Pak!” jawab pemuda itu kembali gugup.
“Intinya krisis kepercayaan mengakibatkan bangsa ini tidak pernah bisa maju!”
“Lalu, apa penyebab terjadinya krisis kepercayaan itu?”
“Hmmm....Pertanyaan yang bagus. Krisi kepercayaan terjadi karena koruptor.”
“Koruptor?”
“Iya, betul! Koruptor! Mereka yang berada di jajaran birokrasi sering menyalahgunakan wewenang dan kekuasan dengan korupsi, memperkaya diri sendiri. Lalu terungkaplah di pemberitaan. Namun, semua kasus-kasus itu tak pernah tuntas. Tak pernah selesai dan terungkap kesemuanya. Seperti kotoran yang sengaja ditimbun kucing di dalam tanah. Sehingga rakyat marah. Hati mereka seperti diperkosa. Rakyat lalu muak dan hilang rasa percaya kepada pemimpin yang dianggapnya tidak becus atau mungkin “tidak benar”. Dan dengan gedung pencakar langit ini sebagai simbol keadilan dan ketakutan para koruptor, diharapkan para koruptor akan jera. Karena mulai dari gedung pencakar langit ini akan lebih banyak koruptor yang akan tertangkap dan diadili.”
“Maaf, Pak! Apa bukankah dengan begitu rakyat akan lebih membenci pada pemimpin karena banyak koruptor yang tertangkap?”
“Memang banyak orang yang salah menafsirkan. Ketika pada suatu masa, tidak banyak kasus korupsi yang muncul di permukaan dan di masa yang lain, kasus korupsi makin banyak yang terungkap, seharusnya itu menjadi pertanda baik kemajuan gerakan penumpasan korupsi di negeri ini. Karena bagaimana pun juga, sebuah kebenaran yang menyakitkan akan lebih baik diungkap dan dituntaskan daripada kebenaran itu ditutupi dengan mengatasnamakan demi keamanan dari revolusi rakyat.”

Pemuda itu lantas mengangguk-angguk. Sepenuh hatinya telah menerima ceramah dari malaikat tua yang sayapnya kian rapuh itu. Keperkasaannya sudah tak nampak lagi. Idealisme telah membesarkannya, merubahnya jadi malaikat di masanya dengan gedung pencakar langitnya.
Gedung pencakar langit dengan 100 lantai itu kini juga ikut merasakan kerapuhan. Seiring dengan usia malaikat itu, gedung itu yang kini dianggap sebagai masa suram korupsi berawal, mulai kehilangan taringnya. Ya, dari gedung ini semuanya berawal. Teror dan ketakutan para koruptor yang pada akhirnya dilanjutkan di meja hijau hingga dibui. Gedung yang diatapnya ada malaikat tua yang sedang berdiri menatap langit didampingi seorang pemuda itu, telah tinggal sejarah.
Namun, idealisme malaikat itu masih ada. Belum lapuk. Belum ditelan oleh usia. Meski sempat menghilang dan terombang-ambing dengan pertentangan di dunia birokrasi.
Saat itu, ketika dia menjadi seorang malaikat dengan integritasnya, dia mendirikan gedung pencakar langit itu. Musuh-musuh pun bertebaran dari koloni kecil hingga manusia-manusia di dalam gedung parlemen. Pertentangan hatinya pun muncul. Lelaki itu ingin menjadi manusia biasa, hidup normal, dan diterima oleh khalayak. Akhirnya, malaikat itu kehilangan sayapnya, bertendensi ikut arus, dan menjadi manusia biasa yang harus menghadapi kenyataan di dunianya.
Sekian lama dia hidup layaknya manusia biasa membuatnya terlupa akan sayap-sayap idealismenya. Kemudian, semua bermula dari gedung pencakar langit yang ia dirikan. Ia akhirnya nmengalami ketakutan yang dirasakan oleh manusia biasa, teror-teror yang ia ciptakan sendiri untuk manusia-manusia normal. Dengan kekuatan gedung pencakar langit yang dibangunnya itu, ia pun ditetapkan sebagai bagian dari musuh-musuhnya terdahulu. Ya, kini ia telah menjadi tersangka.
Suap, kolusi, dan terlebih lagi korupsi telah menggiringnya menjadi kaum yang dimarjinalkan, koruptor. Rakyat pun marah. Mereka kembali dipecundangi. Setelah sekian lama percaya kepadanya dan pemimpinnya yang menggaung-gaungkan sikap anti korupsi, rakyat berubah menjadi bara api yang menjalar di setiap jalan dan gedung-gedung pemerintahan. Mulut-mulut pedas mereka berkoar-koar membakar telinga para pejabat pemerintahan.
Idealismenya kini telah kembali lagi setelah menyublim cukup lama tatkala dia masih menjabat sebagai pejabat tinggi sekaligus pendiri gedung pencakar langit itu – dimana dia juga menjadi musuh dari gedung pencakar langit itu sendiri. Ya, idealismenya telah kembali di atap gedung pencakar langit yang pernah dibangunnya yang juga telah menetapkannya sebagai koruptor.
Esok dia akan menjalani sidang terakhirnya yang akan menentukan masa hukumannya. Sebelum kepergiannya, dia masih ingin berlama-lama di atap gedung pencakar langit itu sambil memandangi langit dan pemandangan perkotaan dengan wajah layunya. Kini, sudah tiada lagi pertentangan hati yang mengganggunya. Dia sudah tak mau meringkuk di penjara meskipun akan sangat singkat karena hukum juga telah ia pecundangi. Pengacara-pengacaranya yang menawarkan pembebasan hukuman pun telah diusirnya. Lelaki yang dulu pernah menjadi malaikat itu sudah tak mau lagi hidup dalam kehinaan.
Perlahan-lahan, tangan lelaki tua itu merogoh saku jas hitamnya. Tangannya yang besar dan berkeriput akhirnya mendapatkan pistol dengan sebutir peluru. Pemuda di sampingnya sontak terkejut.

“Apa yang akan Bapak lakukan?”
“Sudah cukup! Aku sudah tidak mau lagi menjadi beban negara. Buat apa negara membebani anggaran tiap tahun untuk menghidupi orang sepertiku di penjara nantinya. Aku sudah mempecundangi rakyat dan merampok negara ini. Aku sudah tidak sanggup lagi menanggung malu”,
malaikat tua itu berjalan mundur pelan-pelan menjauhi pemuda itu sambil menempelkan mulut pistolnya di pelipis kirinya.

“Bapak! Insyaf, Pak! Jangan lakukan itu!” pemuda itu pun berusaha mendekat.
“Jangan mendekat! Atau aku akan menembak!” sentak lelaki tua itu.
“Pak, mohon hentikan! Bapak tidak perlu senekat itu!” pemuda itu pun menghentikan langkah kakinya.
“Biarkanlah kematianku ini sebagai simbol kegagalanku dalam menumpas korupsi. Semoga kematianku ini bisa memotivasi para koruptor yang hidup nyaman di penjara dalam waktu singkat itu. Semoga rasa malu berbuat korupsi tumbuh di hati mereka dan juga kalian para generasi muda yang akan memimpin negeri ini. Dengan begitu, tidak perlu lagi ada orang berbuat korupsi di negara ini tanpa rasa malu.”
“Tapi ini sama saja menyesatkan, Pak!”
“Sesat? Hah! Kalau mereka tidak mau mati sepertiku maka sebaiknya jangan korupsi!” malaikat tua itu lantas tersenyum mengembang.
Kemudian, malaikat yang sudah tak bersayap itu terjun dari gedung pencakar langit, membiarkan sebutir pelurunya tak mengusik ketenangan.